AnNajah-
Kesefahaman, Urat Nadi Persaudaraan Islam[1]
Buku putih ini, dan upaya-upaya merakit persatuan umat, adalah dua hal yang menyatu.
Buku Putih Mazhab Syiah
ini memuat uraian-uraian untuk kesefahaman demi kerukunan umat Islam.
Tidak akan ada persatuan dan kerukunan, kalau tidak ada kesefahaman.
Lalu, tidak bisa pula ada kesefahaman kalau tidak ada upaya yang
sungguh-sungguh untuk memfahami diri masing-masing. Setiap diri atau
kelompok harus memfahami dirinya sendiri dan kemudian memfahami pihak
lain.
Buku Putih Mazhab Syiah merupakan upaya memperkenalkan
Syiah agar difahami dengan benar. Hal ini tidak cukup jika pihak di luar
Syiah tidak memfahami dirinya. Kesefahaman, dengan demikian, sangat
perlu sebab kesalahfahaman hanyalah akan menyimpan potensi konflik.
Boleh jadi, berbagai konflik seperti yang terjadi dalam masyarakat Islam
di dunia dan di Indonesia ini merupakan akibat dari kesalahfahaman.
Ringkasnya, jika disederhanakan, mungkin ada kesalahfahaman orang Syiah
terhadap Mazhab Syiah, dan kesalahfahaman orang Sunni terhadap Mazhab
Sunni.
Perkenankan penulis memperjelas persoalan tersebut.
Pertama, persoalan penting dan mendesaknya kesalingfahaman serta upaya mengatasi kesalahfahaman.
Tidak dimungkiri oleh siapa pun bahwa Syiah, atau yang dinamai Syiah,
banyak kelompoknya. Itu sebabnya, kalau ada pendapat dari satu kelompok
Syiah yang dinisbatkan kepada kelompok lain, maka di sini bisa timbul
kesalahfahaman. Suatu contoh, ada Syiah Ismailiyah, ada Syiah Zaidiyah,
yang sekarang banyak dan berkembang di Yaman. Ada juga Syiah Ja'fariyah
yang juga sekarang masih berkembang utamanya di Iran dan Irak. Hingga
sekarang ini masih terdapat perbedaan di antara pemahaman Syiah
tersebut. Dulu ada Syiah Al-Khathaniyah, Al-Qaramithah, dan puluhan lagi
aliran Syiah lainnya. Jika pendapat salah satu aliran Syiah, misalnya
Khathaniyah lalu dinisbatkan ke Ja'fariyah, maka akan terjadi
kesalahfahaman, dan itu merupakan bentuk penzaliman atas salah satu
kelompok itu.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada
Syiah yang sesat. Bahkan tidak dapat dimungkiri bahwa ada kelompok Syiah
yang menyesatkan kelompok Syiah yang lain. Salah satu keluhan kita
terhadap kecaman-kecaman atas Syiah adalah adanya kebiasaan mengutip
pendapat suatu kelompok dan menganggapnya bahwa itu sama dengan pendapat
kelompok lain dan atas dasar itulah kelompok lain disesatkan. Ini
bentuk ketidakfahaman.
Penulis melihat di sisi Sunnah
pun begitu. Semua sepakat bahwa perilaku gampang mengkafirkan adalah
perilaku yang tidak terpuji. Dan "jangan mengkafirkan" adalah ajaran
Sunnah. Imam Ghazali misalnya berkata: "kalau seandainya Anda mendengar
kalimat mengkafirkan suatu kelompok yang diucapkan oleh seseorang, yang
99 persen di antaranya menunjukkan bahwa yang bersangkutan benar-benar
kafir, ketahuilah masih ada 1 persen yang memungkinkannya dinilai
beriman, maka jangan kafirkan dia." Membiarkan hidup seribu orang yang
kafir, kesalahannya lebih ringan daripada membunuh karier seorang
Muslim. Namun sayangnya, ini tidak diketahui oleh banyak orang.
Ketidaktahuan atau ketidakmengertian satu pihak atas dirinya dan pihak lain, mengakibatkan terjadinya cekcok.
Kedua, menuju kebersatuan umat Islam.
Fakta sejarah manusia menunjukkan adanya berbagai perkembangan
pemikiran. Pemikiran apa pun, termasuk keagamaan, dipengaruhi oleh
banyak faktor. Bermacam-macam faktor itu bisa berupa perkembangan ilmu,
kemaslahatan, kecenderungan seseorang, dan sebagainya. Pada semua mazhab
pasti terjadi perubahan-perubahan menyangkut pendapat-pendapat
mazhabnya, sedikit ataupun banyak. Pendapat Imam Syafi'i, jangankan oleh
orang lain, oleh perkembangan dirinya sendiri pun tatkala di Irak dan
di Mesir, mengalami perkembangan. Artinya, pendapat beliau ketika masih
di Irak sudah berubah atau berkembang dibanding saat beliau sudah berada
di Mesir. Begitu pun terjadi pada faham salaf. Banyak Salafiyah
sekarang ini yang sudah berbeda pandangannya dengan pendapat Imam Ahmad
ibn Hanbal. Sekali lagi, ada perkembangan.
Kemaslahatan umat telah menjadi topik penting saat ini. Topik yang
menggugah banyak tokoh Muslim untuk berpikir tentang pentingnya upaya
baru dalam mendekatkan umat Islam dari berbagai latar mazhab.
Kemaslahatan umat Islam telah mengantar sebagian tokoh-tokohnya untuk
melakukan pendekatan-pendekatan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan
baru. Kalau tidak demikian, maka dapat disamakan dengan orang yang
terlambat lahir. Buku saya yang berjudul
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah!
telah dibantah oleh suatu pesantren. Jika saya bereaksi dengan
membantahnya lagi, saya merasa terlambat lahir. Bantahan yang
dikemukakan itu masih merujuk kepada pendapat-pendapat lama yang sudah
tak relevan lagi. Topik-topiknya tidak lagi kontekstual dengan kebutuhan
umat saat ini.
Mungkin akan lain halnya jika
sumber-sumber rujukannya ialah ulama-ulama yang sudah akrab dengan
proses kontekstualisasi pemikiran keislaman dalam konteks tantangan baru
dan perkembangan zaman. Beberapa ulama Syiah memberi penjelasan
bahwasanya juga telah terjadi perkembangan pendapat-pendapat para ulama
tentang ajaran mazhab ini. Salah satu contohnya adalah tulisan Imam
Khomeini menyangkut
taqiyyah. Pendapatnya sudah sangat berbeda.
Demikian juga pendapat tentang izin mengangkat senjata terhadap
penguasa. Dahulu, tidak ada izin itu hingga hadirnya imam (Mahdi, yang
dipercayai sedang gaib), tetapi sekarang sudah ada perkembangan. Hal-hal
ini menunjukkan bahwa jika pendapat suatu mazhab hanya merujuk pada
sumber-sumber lama tanpa mempertimbangkan perkembangannya yang lebih
mutakhir, maka muncullah salah faham.
Ketiga, pendapat ulama, cendekiawan, berbeda dengan pendapat orang awam. Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya
At-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam
mengatakan: "Kita tidak bisa menilai orang-orang Prancis dan
pemikiran-pemikirannya dengan memperhatikan orang-orang di desa-desa
Prancis yang bodoh." Demikian juga beliau nyatakan bahwa orang Mesir
tidak bisa digambarkan hanya dengan pemikiran orang-orang Mesir yang
masih telanjang kaki, padahal ada cendekiawannya yang begitu hebat
pemikiran-pemikirannya.
Sering suatu kelompok dinilai
tidak dari ulamanya, baik Sunni menilai Syiah maupun Syiah menilai
Sunni. Tidak mungkin ada kesefahaman jika demikian halnya. Rujukan
terbaik adalah ulama yang muktabar dan diakui, bukan seseorang atau
kelompok apa pun namanya, apalagi yang sebenarnya tidak diakui sebagai
ulama. Bukan hanya di kalangan Syiah, di kalangan Sunni pun banyak.
Sebagai contoh, yang saya pelajari di Sunni, tentang pendapat para ulama
hadis menyangkut kualifikasi Imam Ghazali dalam bidang hadis. Menurut
pendapat Imam Jalaluddin Suyuti, seperti dikutip Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha, "(Kualifikasi Al-Ghazali) itu laksana pengumpul kayu di malam
hari." Artinya, Imam Ghazali dianggap mencampurbaurkan hadis-hadis sahih
dan lemah. Hal seperti ini bisa terjadi, apalagi pada zaman seperti
sekarang ini.
Seorang penulis besar di Mesir, almarhum Abdul Qadir Audah menyatakan tentang problem umat Islam dengan ungkapan "
Al-Islam baina Jahli Abnaihi wa ‘Ajzi Ulama'ihi",
Islam berada di antara kebodohan umatnya dan ketidakmampuan ulamanya.
Ketika ada sebagian anggapan orang bahwa Pak Quraish itu Syiah, saya
tegas membantahnya. Penolakan saya disebut Syiah bukan karena ikut
pendapat bahwa Syiah itu sesat, tetapi karena saya tahu siapa yang
dimaksud Syiah, saya sangat memfahami siapa yang pantas disebut Syiah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, guru saya, dan saya akrab dengan beliau,
berkata: "Jangan beranggapan bahwa seorang yang berpendapat bahwa
Sayyidina Ali ibn Abu Thalib lebih utama daripada Sayyidina Abu Bakar
atau Utsman itu Syiah." Karena, seperti ditulis Syaikh Abdul Halim
Mahmud, sejarah menunjukkan ada kelompok Mu'tazilah Bashrah yang bahkan
memusuhi Syiah, tetapi menganggap Sayyidina Ali lebih
afdhal daripada Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dan ini beda dengan Mu'tazilah di Baghdad.
Pernah terjadi dialog ulama dari berbagai mazhab. Imam Abu Hanifah berkata, "Yang tidak shalat, kafir."
Lalu Imam Syafi'i berkata, "Tidak, dia tidak kafir," lalu bertanya,
"Bagaimana caranya orang yang tidak shalat yang Anda katakan sebagai
kafir tersebut agar dapat masuk Islam kembali?" Jawab Imam Abu Hanifah,
"Dia ucapkan dua kalimat syahadat." Lalu, Imam Syafi'i menyanggahnya
dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah meninggalkan dua kalimat
syahadat. Sehingga menjadi aneh kalau mengucapkan dua kalimat syahadat
harus menjadi syarat agar dirinya dapat kembali menjadi Islam. "Jadi,
dia tidak kafir, dia adalah Muslim yang berdosa," lanjut Imam Syafi'i.
Semua yang mengaku Muslim merujuk ke Al-Quran, bahkan tidak jarang
orang non-Muslim pun bersikap demikian tatkala menghadapi umat Islam.
Semua Muslim merujuk kepada Al-Quran, namun justru salah satu penyebab
perbedaan di antara umat Islam adalah Al-Quran. Artinya, yang menjadi
perbedaan adalah Al-Quran. Imam Syafi'i merujuk kepada Al-Quran,
demikian juga dengan Imam Abu Hanifah, Imam Ja'far, dan Imam Zaid.
Perbedaan terjadi karena hanya sedikit kesimpulan-kesimpulan yang
benar-benar diambil dari Al-Quran dan Sunnah.
Perbedaan terjadi tatkala sudah memasuki wilayah penafsiran. Tangan yang dimaksud dalam kalimat "
Yadullâhi fawqa aidîhim" itu hakiki atau majazi? Ada tangan Tuhan, tapi beda dengan makhluk. Ini metafora. Ini menyebabkan perbedaan. Kata "
masaha" secara bahasa, apa artinya? Ini menimbulkan juga perbedaan dalam fiqih wudhu. Apakah berarti mengusap (
masaha), atau bertinggi (
saha), ini sudah beda juga. Ada juga persoalan
i'rab. "
Wamsahû bi ru‘ûsikum wa arjulikum", atau
arjulâkum? Keduanya merujuk kepada Al-Quran. Yang satu berarti kaki diusap, yang satu lagi dibasuh.
Dapat tidaknya seorang musafir berpuasa juga menimbulkan perbedaan.
Syiah menyatakan tidak boleh, Sunni membolehkan. Keduanya merujuk Al-
Quran dan Sunnah. "
Fa man kâna minkum marîdhan aw ‘alâ safarin fa'iddatun min ayyâmin ukhar." Sunni, karena mengikuti hadis, memfahaminya sebagai "
Man kâna minkum marîdhan aw ‘alâ safarin (
walam yashum)." Semua merujuk pada kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda, yang masing-masingnya tidak dapat dimutlakkan.
Hadis juga demikian. Ada perawi Bukhari yang dianggap tidak cukup kuat oleh Imam Muslim. Demikian pula di Syiah, Kitab Hadis
Al-Kâfi tidak dianggap semua mutlak sahih. Sebagaimana di Sunni. Jangankan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam
Shahîh Muslim pun ada yang tidak sahih menurut sementara ulama Sunni.
Hal terpenting dalam upaya menuju kesefahaman ini adalah kebersatuan
dalam akidah. Ini pun rumusannya tidak harus seragam atau sama persis.
Yang terpenting adalah kesamaan kandungan dan substansinya. Syaikh
Muhammad Abduh berkata bahwa Rukun Iman itu yang terpenting ada dua,
yakni percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Perinciannya, menurut
beliau, bahwa uraian tentang Hari Kemudian tak dapat diterima oleh akal
kecuali melalui utusan Allah (Rasul), sehingga kita pun perlu beriman
kepada Rasul. Rasul tak mungkin mengungkapkan itu melalui nalarnya
sendiri, melainkan menerimanya dari malaikat. Maka iman kepada malaikat
adalah hal yang sangat penting. Jadilah rumusan Rukun Iman berkembang
dari situ.
Umat ini seyogianya tidak terikat dengan
rumusan, tetapi kandungan yang dirumuskan itu. Ini baru dapat
menciptakan pintu ke arah kesefahaman dengan baik. Lain halnya jika yang
dipaksakan adalah sefaham atas redaksi rumusan secara persis, dan itu
tidak mungkin. Andaikata kesefahaman itu sudah dan terjadi, maka
segalanya akan menjadi mudah. Apalagi kalau yang dirujuk adalah pendapat
ulama tepercaya yang ada sekarang, baik Syiah maupun Sunni. Hal ini
tentu akan menambah kuat prospek terwujudnya kesefahaman umat Islam, dan
selanjutnya kerukunan yang dikehendaki bersama, sesuai perintah Allah
Swt.
Itu sebabnya semua konferensi atau
pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh berbagai ulama, telah
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan.
Sejak tahun 1961 di Mesir sudah terbit
Mausu'ah Jamâl Abdul Nashir Al-Faqqiya
(yakni judul ketika pertama kali terbit) yang di dalamnya tercakup 8
mazhab. Yakni, empat Mazhab Sunni yang terkenal: Hanafi, Hanbali,
Syafi'i, dan Maliki, kemudian Syiah Ja'fariyah, Al-‘Ibadiyah, dan
Az-Zhahiriyah. Ada juga kesepakatan di Turki, Arab Saudi, Qathar. Jadi,
ada fakta bahwa sudah lama umat Islam mudah menemukan
kesepakatan-kesepakatan. Maka kita semua sepantasnya merujuk ke sana,
kemudian kesemuanya itu harus bisa dijelaskan kepada masyarakat,
terutama orang awam. Jika ulamanya menjalankan fungsinya dengan benar.
Namun, jika ulamanya yang gagal, di antaranya karena ikut serta
mengembus-embuskan permusuhan, maka kesefahaman dan persatuan akan gagal
pula.
Sejatinya kita adalah saudara dan tidak perlu
saling menimbulkan ketegangan. Surga terlalu luas sehingga tidak perlu
memonopolinya hanya untuk diri sendiri.
Wallahu a'lam bishshawab.
sumber :
irib